Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga
Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih
banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah
selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh
sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi
pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai
dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.
Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri
Kehakiman RI saat itu.
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan
terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang
bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan
antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat.
Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai
dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan
suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan. Dengan mengacu pada pemikiran itu, mantan Menteri Hukum dan HAM
Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan
yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi
manusia yang menyadari kesalahannya.
Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya.
Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana
tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan
memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari
hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan
dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan tidak lagi
sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan
reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada di dalam LP.
Tentu saja hal ini sangat kontradiktif apabila dibandingkan
dengan visi dan misi pemasyaratan sebagai tempat pembinaan narapidana, agar
keberadaannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sewaktu bebas. Perlu bagi
kita untuk sejenak melihat kembali tujuan pengadaan Lembaga Pemasyarakatan
sebagai tempat untuk membina dan menyiapkan seorang narapidana menjadi “lurus”
dan siap terjun kembali ke masyarakatnya kelak. Apakah selama ini pola dan cara
pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan sudah sampai pada tujuannya? Apakah
bukannya pola pembinaan di LP itu malah membekali si narapidana akan
kelak lebih profesional? Butuh pemikiran bersama dalam mengurai
benang kusut di balik jeruji besi selama ini.
A. Proses
Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem
pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar
narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga
narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif
berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga
negara.
Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh
pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Sesuai UU No.12
Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan
kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem
pemasyarakatan Indonesia.
Setelah proses pembinaan telah berjalan selama 2/3
masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan
dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap akhir yaitu
berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai
sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada
tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas
atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.
B. Identifikasi
Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga
Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai
keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan
penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses
pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan
Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur
yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan
teralis besi menambah kesan seram penghuninya.
2. Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga
Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan
bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau
kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang
diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).
3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang
tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari
mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan
pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu
berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.
C. Paradigma
Sistem Pembinaan Narapidana
Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh
Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara
bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya
tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan
tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak”
dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi
dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Dalam menyikapi
tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu
paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana
pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya
kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Berkaitan dengan kejahatan yang
kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar
bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat
mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum
mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses
rehabilitasi.
Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang
utama dari proses restorative justice. Korban harus didukung dan dapat
dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari
kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti
kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan. Pelaku tindak pidana harus
direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat. Konsekuensi dari
kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban
dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling
menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.
D. Perwujudan
Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial
mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Program kebijakan itu meliputi :
1. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan
yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada
narapidana.
2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program
pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
a). Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan
beberapa syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua
pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah
selama sembilan bulan.
b). Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti
kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana
masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.
--Muhammad Taufiq Arif--